Zakat,
infaq, dan shodaqoh adalah salah
satu ajaran Al-Qur’an
yang paling penting
dalam masalah pemenuhan kewajiban dalam hidup, kewajiban menghormati
semua akad dan
memenuhi semua kewajiban yang telah disepakati bersama. Ketiga kegiatan tersebut semuanya telah jelas
diterangkan didalam Al-Qur’an, takhana di Al-Qur’an di indonesia pun ada
undang-undang atau aturan yang menagtur mengenai ZIS tersebut.
Pengelolaan zakat telah diatur di dalam UU No.23 Tahnu
2011 yang menerangkan pengelolaan zakat dan
telah disebutkan juga lembaga - lembaga yang berwenang untuk mengurus aliran
zakat agar terdistribusi dengan benar dan sesuai ajaran agama. Menurut
UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat :
1. Pada bab I pasal 2
disebutkan bahwa "Pengelolaan zakat berasaskan:
a. syariat Islam;
b. amanah;
c. kemanfaatan;
d. keadilan;
e. kepastian hukum;
f. terintegrasi; dan
g. akuntabilitas.
2. Pada bab yang sama
dan pada pasal 3 disebutkan bahwa
"Pengelolaan zakat
bertujuan:
a.
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
b.
meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan."
3.
Pada bab II dalam UU terkait membahas tentang pihak pengelola zakat, disitu
disebutkan bahwa pengelola zakat ada dua macam yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat
Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Masing - masing memiliki tugas yang
berbeda dimana BAZNAS bertugas untuk mengelola zakat ditingkat nasional,
provinsi, kabupaten / kota. Selain utu, BAZNAS bertanggung jawab penuh kepada
Presiden dengan cara membut laporan tertulis kepada Presiden melalui Menteri
dan DPR RI paling sedikit satu kali dalam setahun. Sedangkan untuk LAZ memiliki
tugas untuk membantu BAZNAS dalam melaksanakan tugasnya, dan LAZ berkewajiban
untuk melaporkan pelaksanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat yang telah di audit kepada BAZNAS secara berkala.
4.
Pada bab III dalam UU terkait dijabarkan mengenai pengumpulan, pendistribusian,
pendayagunaan, hingga pelaporannya. Dibawah ini akan dibahas satu persatu mulai
dari pengumpulan hingga pelaporan :
4.1.
Pasal 21 sampai pasal 24 (pengumpulan) disebutkan bahwa muzaki dapat menghitung
kewajiban zakatnya sendiri, tetapi jika tidak bisa melakukannya maka muzaki
dapat meminta bantuan BAZNAS, kemudian BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti
setoran zakat kepada setiap muzaki yang dapat digunakan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak.
4.2.Pasal
25 dan pasal 26 (pendistribusian) disebutkan bahwa pendistribusian zakat wajib
didistribusikan keada mustahik sesuai dengan syariat islam berdasarkan skala
prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
4.3.Pasal
27 (pendayagunaan) menjelaskan jika zakat dapat didayagunakan untuk usaha
produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat,
pendayagunaan zakat ini dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah
terpenuhi.
4.4.
Pasal 28 (pengelolaan ZIS dan dana sosial lain) menyatakan bahwa BAZNAS dan LAZ
tidak hanya menerima zakat. Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat
menerima infaq, shodaqoh, dan dana sosial lainnya yng harus dicatat dalam
pembukuan tersendiri. Untuk pendistribusian dan pendayagunaannya dilakukan sesuai syariat islam dan dilakukan
sesuai dengan peruntukan yang dikatakan oleh pemberi.
4.5.Pasal
29 (pelaporan) menjelaskan bahwa sistem pelaporan untuk lembaga amil zakat itu
meruncing keatas, maksudnya adalah semakin besar cakupan wilayahnya dan tugasnya
maka pertanggung jawabannya semakin tinggi pula.
Di indonesia, telah dilakukan beberapa pengelolaan zakat
menurut UU.No 23 tahun 2011 yakni :
1. Asas - asas
pengelolaan zakat yang sudah sesuai dengan UU terkait yang mencakup syariat
islam, amanah, manfaat, adil, dll.
2.
Sudah banyak lembaga - lembaga yang bergerak dibidang amil zakat seperti
BAZNAS, lumbung rezeki, beberapa LAZ yang diakui (LAZ Dompet Dhuafa Republika,
LAZ Yayasan Amanah Tafakul, dll.)
3.
Pendistribusian zakat kepada mustahik yang tepat sesuai dengan syariat islam.
Dalam pengelolaan
hasil zakat, terdapat istilah pendistribusian dan pendayagunaan. Istilah
pendistribusian yang berarti penyaluran atau pembagian kepada orang-orang yang
berhak mendapatkan zakat (mustahiq) secara konsumtif. Sedangkan istilah
pendayagunaan berasal dari kata daya-guna yang berarti dapat menghasilkan hasil
atau manfaat. Istilah pendayagunaan ini dapat diartikan pemberian zakat kepada
mustahiq secara produktif dengan tujuan agar zakat dapat mendatangkan manfaat. (Hafidhuddin,
2002). Pengelolaan hasil zakat adalah inti dari seluruh kegiatan
pengumpulan zakat. Dalam mengoptimalkan fungsi zakat sebagai amal ibadah sosial
mengharuskan pendistribusian zakat
diarahkan pada model konsumtif dan model produktif, akan tetapi yang paling
disarankan yakni pada model produktif seperti ketentuan yang tercantum dalam UU
No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Para amil zakat dapat
melakukan pembagian porsi hasil pengumpulan zakat, misalanya 60% untuk zakat
konsumtif dan 40% untuk zakat produktif. Hasil pengumpulan zakat secara
konsumtif bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonomi para mustaḥiq
melalui pemberian langsung, maupun melalui lembaga-lembaga yang mengelola fakir
miskin, panti asuhan, maupun tempat- tempat ibadah yang mendistribusikan zakat
kepada masyarakat. Sedangkan program penyaluran hasil zakat secara produktif
dapat dilakukan melalui program bantuan
pendidikan gratis dalam bentuk beasiswa, pelayanan kesehatan gratis, dan
lain sebagainya. Sistem pendistribusian zakat, infaq, dan shadaqah yang
dilakukan haruslah mampu mengangkat dan meningkatkan taraf hidup umat Islam,
terutama para penyandang masalah sosial karena baik Lembaga Amil Zakat maupun
Badan Amil Zakat Nasional memiliki misi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
keadilan sosial. (Safriani, 2016). Ada tiga hal yang bisa diperankan oleh
pemerintah dalam pengelolaan zakat, yaitu:
a. Pemerintah
dapat berperan secara penuh sebagai penanggung jawab, pelaksana atau pengelola
dan sekaligus menjadi kekuatan penekan.
b. Pemerintah
hanya menjadi kekuatan penekan, sedangkan peran yang lainnya diserahkan kepada
lembaga swasta.
c. Pemerintah
memiliki wewenang sebagai penindak dan pemberi sanksi kepada pengingkar zakat,
selain itu lembaga swasta zakat juga dapat
melaporkan pengingkar zakat kepada pemerintah. (Subianto, 2004)
Melihat poteni zakat yang
cukup besar di Indoneia maka pengelolaan zakat harus dilakukan
secara profesional agar menjadi sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi
perekonomian masyarakat, terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan
dan menghilangkan kesenjangan sosial dan dapat dipertanggungjawabkan yang
kepada muzakki dan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan
perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahik dan pengelola
zakat. Diharapkan, Undang-Undang pengelolaan Zakat sifatnya lebih berani dan
tegas dimana pemerintah tidak hanya berperan dalam pengelolaan zakat tetapi
juga mengarah kepada pengambilan tindakan atau sanksi hukum bila terjadi
pembangkangan terhadap zakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar