Kamis, 03 Oktober 2019

UNDANG – UNDANG PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ, DAN SHODAQOH


Zakat, infaq, dan shodaqoh adalah salah  satu  ajaran  Al-Qur’an  yang  paling  penting  dalam  masalah  pemenuhan kewajiban dalam  hidup, kewajiban  menghormati  semua  akad  dan  memenuhi  semua  kewajiban yang telah  disepakati bersama. Ketiga kegiatan tersebut semuanya telah jelas diterangkan didalam Al-Qur’an, takhana di Al-Qur’an di indonesia pun ada undang-undang atau aturan yang menagtur mengenai ZIS tersebut.
Pengelolaan zakat telah diatur di dalam UU No.23 Tahnu 2011 yang menerangkan pengelolaan zakat dan telah disebutkan juga lembaga - lembaga yang berwenang untuk mengurus aliran zakat agar terdistribusi dengan benar dan sesuai ajaran agama.  Menurut UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat :
1. Pada bab I pasal 2 disebutkan bahwa "Pengelolaan zakat berasaskan:
a. syariat Islam;
b. amanah;
c. kemanfaatan;
d. keadilan;
e. kepastian hukum;
f. terintegrasi; dan
g. akuntabilitas.
2. Pada bab yang sama dan pada pasal 3 disebutkan bahwa
"Pengelolaan zakat bertujuan:
a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan."
3. Pada bab II dalam UU terkait membahas tentang pihak pengelola zakat, disitu disebutkan bahwa pengelola zakat ada dua macam yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat). Masing - masing memiliki tugas yang berbeda dimana BAZNAS bertugas untuk mengelola zakat ditingkat nasional, provinsi, kabupaten / kota. Selain utu, BAZNAS bertanggung jawab penuh kepada Presiden dengan cara membut laporan tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan DPR RI paling sedikit satu kali dalam setahun. Sedangkan untuk LAZ memiliki tugas untuk membantu BAZNAS dalam melaksanakan tugasnya, dan LAZ berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah di audit kepada BAZNAS secara berkala.
4. Pada bab III dalam UU terkait dijabarkan mengenai pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan, hingga pelaporannya. Dibawah ini akan dibahas satu persatu mulai dari pengumpulan hingga pelaporan :
4.1. Pasal 21 sampai pasal 24 (pengumpulan) disebutkan bahwa muzaki dapat menghitung kewajiban zakatnya sendiri, tetapi jika tidak bisa melakukannya maka muzaki dapat meminta bantuan BAZNAS, kemudian BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki yang dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
4.2.Pasal 25 dan pasal 26 (pendistribusian) disebutkan bahwa pendistribusian zakat wajib didistribusikan keada mustahik sesuai dengan syariat islam berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
4.3.Pasal 27 (pendayagunaan) menjelaskan jika zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat, pendayagunaan zakat ini dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
4.4. Pasal 28 (pengelolaan ZIS dan dana sosial lain) menyatakan bahwa BAZNAS dan LAZ tidak hanya menerima zakat. Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infaq, shodaqoh, dan dana sosial lainnya yng harus dicatat dalam pembukuan tersendiri. Untuk pendistribusian dan pendayagunaannya  dilakukan sesuai syariat islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang dikatakan oleh pemberi.
4.5.Pasal 29 (pelaporan) menjelaskan bahwa sistem pelaporan untuk lembaga amil zakat itu meruncing keatas, maksudnya adalah semakin besar cakupan wilayahnya dan tugasnya maka pertanggung jawabannya semakin tinggi pula.
Di indonesia, telah dilakukan beberapa pengelolaan zakat menurut UU.No 23 tahun 2011 yakni :
1. Asas - asas pengelolaan zakat yang sudah sesuai dengan UU terkait yang mencakup syariat islam, amanah, manfaat, adil, dll.
2. Sudah banyak lembaga - lembaga yang bergerak dibidang amil zakat seperti BAZNAS, lumbung rezeki, beberapa LAZ yang diakui (LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Amanah Tafakul, dll.)
3. Pendistribusian zakat kepada mustahik yang tepat sesuai dengan syariat islam.
Dalam pengelolaan hasil zakat, terdapat istilah pendistribusian dan pendayagunaan. Istilah pendistribusian yang berarti penyaluran atau pembagian kepada orang-orang yang berhak mendapatkan zakat (mustahiq) secara konsumtif. Sedangkan istilah pendayagunaan berasal dari kata daya-guna yang berarti dapat menghasilkan hasil atau manfaat. Istilah pendayagunaan ini dapat diartikan pemberian zakat kepada mustahiq secara produktif dengan tujuan agar zakat dapat mendatangkan manfaat.  (Hafidhuddin, 2002). Pengelolaan hasil zakat adalah inti dari seluruh kegiatan pengumpulan zakat. Dalam mengoptimalkan fungsi zakat sebagai amal ibadah sosial mengharuskan pendistribusian  zakat diarahkan pada model konsumtif dan model produktif, akan tetapi yang paling disarankan yakni pada model produktif seperti ketentuan yang tercantum dalam UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Para amil zakat dapat melakukan pembagian porsi hasil pengumpulan zakat, misalanya 60% untuk zakat konsumtif dan 40% untuk zakat produktif. Hasil pengumpulan zakat secara konsumtif bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonomi para mustaḥiq melalui pemberian langsung, maupun melalui lembaga-lembaga yang mengelola fakir miskin, panti asuhan, maupun tempat- tempat ibadah yang mendistribusikan zakat kepada masyarakat. Sedangkan program penyaluran hasil zakat secara produktif dapat dilakukan melalui program bantuan  pendidikan gratis dalam bentuk beasiswa, pelayanan kesehatan gratis, dan lain sebagainya. Sistem pendistribusian zakat, infaq, dan shadaqah yang dilakukan haruslah mampu mengangkat dan meningkatkan taraf hidup umat Islam, terutama para penyandang masalah sosial karena baik Lembaga Amil Zakat maupun Badan Amil Zakat Nasional memiliki misi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.  (Safriani, 2016).  Ada tiga hal yang bisa diperankan oleh pemerintah dalam pengelolaan zakat, yaitu:
a.         Pemerintah dapat berperan secara penuh sebagai penanggung jawab, pelaksana atau pengelola dan sekaligus menjadi kekuatan penekan.
b.         Pemerintah hanya menjadi kekuatan penekan, sedangkan peran yang lainnya diserahkan kepada lembaga swasta.
c.         Pemerintah memiliki wewenang sebagai penindak dan pemberi sanksi kepada pengingkar zakat, selain itu lembaga swasta zakat juga dapat  melaporkan pengingkar zakat kepada pemerintah. (Subianto, 2004)
Melihat poteni zakat yang cukup besar di Indoneia maka pengelolaan zakat  harus dilakukan secara profesional agar menjadi sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi perekonomian masyarakat, terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial dan dapat dipertanggungjawabkan yang kepada muzakki dan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahik dan pengelola zakat. Diharapkan, Undang-Undang pengelolaan Zakat sifatnya lebih berani dan tegas dimana pemerintah tidak hanya berperan dalam pengelolaan zakat tetapi juga mengarah kepada pengambilan tindakan atau sanksi hukum bila terjadi pembangkangan terhadap zakat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar