KEUANGAN PUBLIK DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
ASRI WULAN SARI
EKONOMI ISAM 2017B
17081194028
A.
Konsep Islam
Tentang Negara
Banyak gagasan dri para pemikir barat yang
ditemukan selama zaman yunani sampai saat ini yang membahas mengenai konsep
negara. Dalam
ranah pemikir politik islam pun juga memiliki tokoh-tokoh yang sudah muncul
pada saat abad klasik, abad pertengahan, hingga modern. Diantaranya seperti
Al-Farabi, Al-mawardi, Al-Ghazali yang mampu menjadi pemikir politik di abad
klasik dan pertengahan, sedangkan di era modern juga terdapat tokoh yang
terkenal seperti, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, dan
tokoh-tokoh lain yang tak kalah hebatnya.
Muhammad
Rasyid Ridha mengatakan bahwa inti dari knp negara islam adalah Syariah, dimana
kekeuasaan diperlukan ntuk mwujukan segala tjuan dan mengimplementasikannya. Sedangkan
menurut Fazlur Rahman akan anga memungkinkan bahwa konsep negara islam di
negara satu degan yang lain memiliki beberapa perbedaan dalam konsep karena
hasil ijtihad dari masing-masing mujtahid negara berbeda dalam mengimplementasikannya.
Meskipun memiliki perbedaan konsep tetapi poin peningnya yakni tidak ada konsep
yang melanggar aturan Allah SWT.
B. Fungsi Negara dala Mengelola Sektor Publik Menurut
Islam
Fungsi negara dalam mengelola ekonomi dan publik
menurut islam ada 3 yaitu :
1.
Fungsi Alokasi
Adapun peran alokasi Negara pada
saat masa rasulullah dan masa kekhalifahan dimana al-hisbah memiliki peranan
yang sangat baik, diantaranya :
a.
Menegakkan
peraturan syariat mulai dari ibadah sampai dengan etika Negara kemasyarakatan.
b.
Berperan dalam
tata kelola Negara, serta dapat melengkapi fasilitas umum untuk layanan sector
public
c.
Dapat mengontrol
kegiatan pasar, sekaligus memastikan berlangsungnya syariat ditengah-tengah
proses kegiatan pasar.
Tujuan utama dari kegiatan alokasi
ini yakni untuk bisa memastikan pemanfaatan sumber daya secara optimal sehingga
diharapkan kebutuhan hidup keseluruhan masyarakat dapat terpenuhi secara adil
dan efisien.
2.
Fungsi Distribusi
Memiliki beberapa aspek yang harus
dipenuhi oleh Negara untuk menjalankan fungsi pada kegiatan distribusinya,
yakni :
a.
Melarang adanya
konsentrasi kekayaan dan ekploitasi.
b.
Penentuan
standar public mengenai kebutuhan minimum.
c.
Mengutamakan
kepentingan sosial disbanding kepentinga pribadi,
d.
Kebijakan yang
mengutamakan sector rill dam melarang penggunaan suku bunga yang mengandung
unsur ribawi.
3.
Fungsi Stabilisasi
Adapun bentuk dari stabilisasi dalam
islam itu sendiri yakni terjadinya penegakan keadilan di tengah-tengah
masyarakat yang berarti bahwa penggunaan hukum sudah benar-benar dijalankan
secara maksimal sehingga terciptanya keadilan bagi masyarakat. Sehingga tidak
terdapat perbedaan hukum diantara penguasa dan masyarakat biasa.
C.
Keuangan publik
dalam Islam
Didalam islam sendiri konsep keuangan publik telah
ada sejak zaman nabi Muhammad SAW dan berkembang seiring pengembangan masyarakat
muslim dan pembentukan negara islam pada waktu lampau. Konsep keungan publik
dalam islam secara sederhana termaktub dalam Q.S Al Maarij (70) 24-25 yang
mempunyai arti :
“Dan orang-orang yang dalam
hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang
yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”
Pada saat ayat itu turun islam belum menjelma
menjadi sebuah negara, namun konsep perintah menyantuni orang miskin yang
termaktub didalam ayat tersebut merupakan gambaran bahwa sumber daya yang
dimiliki manusia harus dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan umum
(orang lain).
a.
Keuangan Publik Islam Dalam Kerangka
Historis
·
Keuangan publik masa Rasulullah
Dalam
Kaaf, 2002 dinyatakan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
daulah memiliki struktur administrasi dengan kewenangan di bidang politik
sederhana, diantaranya yakni:
1.
Kepala negara, dalam hal ini yakni
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dibantu para wazir beliau;
2.
Amirul jihad, dalam hal ini Rasulullah
pernah turun langsung seperti dalam rangkaian perang ghazwah, meskipun tidak
dalam perang saraya;
3.
Industri, yakni semisal dalam pembuatan
mimbar, dsb;
4.
Peradilan, termasuk diantaranya yakni
hisbah;
5.
Baitul mal, yakni lembaga yang memiliki
kewenangan dalam kaitan dengan pendapatan & pembelanjaan negara
·
Keuangan masa Khulafaur Rasyidin
1. Masa
Khalifah Abu Bakar As-sidiq
Pada tahun pertamanya,
Abu Bakar menyelesaikan permasalahan terkait dengan keuangan publik semisal
dalam memerangi riddah, nabi palsu dan juga orang-orang yang enggan membayar
zakat. Beliau termasuk orang yang penghitungan dan pengumpulan zakat untuk kemudian
ditampung dalam Baitul Mal.
Pada
tahun kedua, beliau mengembangkan fungsi dari Baitul Mal, yakni di samping
sebagai sarana untuk mengelola harta umat juga sebagai tempat penyimpanan harta
negara. Beliau menyiapkan tempat khusus untuk menyimpan harta yang akan
dikirimkan ke Madinah agar aman. Hal tersebut berlangsung sampai ia wafat.
2. Masa
Khalifah Umar bin Khattab
Dalam
keterkaitan dengan hal ini, maka terdapat beberapa hal penting. Diantaranya
yakni sebagai berikut:
a) Baitul
Mal, yang mana di dalamnya sudah terbentuk beberapa departmen seperti departmen
pelayanan militer, departmen kehakiman dan eksekutif, departmen pelayanan dan
pengembangan islam dan departmen jaminan sosial;
b) Kepemilikan
tanah, yang mana dimaksudkan agar membantu dalam memutuskan tanah-tanah sebagai
fa’i;
c) Zakat
dan ‘Ushr. Menurut Abu Ubaid, khalifah Umar membedakan zakat dari pegunungan
dan ladang untuk zakat madu. Pemberlakukannya, 1/20 bagi jenis pertama dan 1/10
bagi jenis kedua;
d) Pembayaran
sedekah oleh non-muslim. Umar memberlakukan jizyah atas bani Taghlib, akan
tetapi mereka menolak dan sebagai gantinya maka mereka pun membayar sedekah
ganda;
e) Mata uang, dalam hal ini khalifah Umar
menetapkan bahwa 1 dirham setara dengan 14 qirat atau 70 grain barley;
f) Klasifikasi
pendapatan negara, yakni dalam keterkaitan dengan pendapatan Baitul Mal.
Pembagiannya sendiri yakni terdiri atas zakat dan ushr; khums dan sedekah;
kharaj, fa’i, jizyah dan sewa tetap tahunan tanah; serta pendapatan yang
diterima dari sumber lainnya;
c) Pengeluaran,
dalam hal ini diperuntukkkan bagi pensiunan pegawai kemiliteran dan pensiunan
pegawai sipil
3. Masa
Khalifah Utsman bin Affan
Pada
masa kepemipinan beliau, pejabat perbendaharaan yang diberikan tugas bersifat
independen sehingga memiliki kewenangan untuk mengontrol pengeluaran dana para
pejabat dan gubernur di wilayah terkait. Pada masa beliau sempat terjadi
perseturuan antara Sa’ad bin Abi Waqosh dengan Ibnu Mas’ud yang berakhir dengan
pemecatan Sa’ad. Beliau tidak pernah mengambil gaji beliau dari Baitul Mal,
memerdekan budak setiap hari jum’at dan menjamin kehidupan janda dan yatim
piatu.
2. Masa Khalifah Ali bin abi Thalib
Pada masa pemerintahan beliau,
Baitul Mal kembali pada posisinya sebelumnya dan juga ia mendapatkan santunan dari
baitul mal berupa pakaian, meskipun tidak dapat memenuhi tubuhnya secara penuh.
Seluruh pendapatan baitul mal didistrubusikan ke seluruh provinsi yang ada di
Madinah, Basrah dan Kuffah.
Selain itu, pada masa kekhalifahan beliau juga telah dicetak mata uang
koin dengan nama negara islam. Akan tetapi, sayanganya meskipun begitu koin
yang telah dicetak tidak berhasil beredar luas dikarenakan pada tahun ke-6
pemerintahannya, beliau dibunuh oleh seseorang yang bernama Abdurrahman bin
Muljam al-Himyari.
·
Keuangan publik masa Dinasti Umayyah
Dalam
Muhtadi, 2009 yakni dari sekian banyak khalifah yang berkuasa di masa dinasti
umayyah, yang paling mencolok yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar bin
Abdul Aziz yakni dengan beberapa kebijakan terkait keuangan publik sebagai
berikut:
1) Mengembalikan
zakat sebagai sumber utama pendapatan negara
a. Menyalin
dokumen Nabi terkait dengan zakat;
b. Memperbaiki
tata kelola zakat dengan rapi
2) Optimalisasi
pendapatan khara
a. Perbaikan
lahan pertanian
b. Penghentian
terhadap privatisasi tanah kharaj
c. Beban
kharaj yang adil nan fleksibel
3) Penetapan
jizyah yang bersifat relatif tinggi
4) Kebijakan
perpajakan yang adil
a. Menghapus
pajak yang tidak syar’i
b. Penerapan
prinsip keadilan dalam pemungutan pajak
5) Pemberantasan
korupsi dan nepotisme
a. Mengembalikan
madzalim
b. Melakukan
pemberantasan korupsi
c. Pelarangan
bisnis pejabat negara
d. Pelarangan
pejabat untuk menerima hadiah
e. Pemberantasan
kerja paksa
f. Pelarangan
dalam pemanfaatan harta milik negara
6) Gerakan
penghematan, efisiensi dan memangkas birokrasi
·
Keuangan publik masa Dinasti Umayyah
Dari sekian banyak khalifah yang berkuasa pada
masa dinasti Abbasiyah, terdapat dua nama yang berhasil membawa pada kejayaan
yakni khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun. Kemajuan yang dialami yakni dalam
bidang perekonomian, pertanian dan perdagangan sehingga menjadikan kota Baghdad
sebagai kota metropolitan dengan gedung-gedung tinggi yang berdiri, sarana
peribadatan terbesar, menjamurnya saran pendidikan hingga fasilitas kesehatan
gratis juga diberikan.
Sementara itu, di bidang administrasi terdapat pembentukan diwan baru.
Diwan baru tersebut diantaranya yakni sebagai berikut:
1) Diwan
al-Syurta, berperan dalam menjamin dan memelihara keamanan, harta dan nyawa
masyarakat.
2) Diwan
al-sawafi, berperan dalam tanggung jawab atas urusan harta kerajaan
3) Diwan
diya’, berperan dalam mengurusi kekayaan pribadi kepala negara
4) Diwan
al-nazri fi al-mazalim, berperan dalam mengajukan banding atas ketidakadilan
5) Diwan
al-Azimah, berperan dalam menjaga kelancaran roda pemerintahan dan mengaudit
kegiatan pusat ataupun daerah
6) Diwan
al-atha’, berperan dalam mengurusi dan mengatur harta-harta hibah dan
penyimpangan dalam penerimaan dan pengeluaran harta hubah tersebut
7) Diwan
al-sirr, berperan dalam mengurusi tentang bada intelijen negara, termasuk
diantaranya mata-mata
8) Diwan
akriha, berperan dalam mengurusi irigasi, kanal air dan sanitasi
b.
Sumber Penerimaan Keuangan Publik Dalam
Islam
1)
Menurut Ibnu Taimiyah
Dalam
Anas, 1983 yakni Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sumber penerimaan keuangan
publik meliputi tiga hal utama yakni sebagai berikut:
a) Ghanimaah,
yakni harta rampasan perang yang mana diperoleh dari orang-orang non-muslim
selepas perang usai;
b) Shadaqah,
yakni zakat yang dikenaakn atas kekayaan muslim tertentu. Termasuk kategori ini
yakni zakat hasil panen yang dipungut dari hasil panen biji-bijian maupun
buah-buahan; zakat atas hewan ternak semacam unta, domba ataupun sapi; zakat
atas barang dagangan; dan zakat atas dua logam mulia yakni emas dan perak;
c) Fa’i,
yakni seluruh penerimaan selain ghanimah dan zakat dapat dikategorikan sebagai
fa’i.
2)
Menurut Abu Ubaid
Dalam
Haritsi, 2006 yakni oleh Abu Ubaid, sumber penerimaan keuangan publik terdiri
atas enam hal, dengan perincian yakni sebagai berikut:
a) Shadaqah/zakat
Shadqah disini yakni yang bersifat wajib
b) Fa’i
Fa’i disini berarti sesuatu yang diambil
dari kata dzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa
mereka dilindungi dan dihormati.
c) Kharaj
Kharaj disini berarti penghasilan yang
diperoleh dari tanah taklukan kaum muslimin yang dilakukan secara damai yang
mana pemilik tanah menawarkan tanah tersebut untuk dikelola sebagai pengganti
biaya sewa tanah;
d) Jizyah
Jizyah yang dimaksudkan disini yakni
dalam artian bahwa terdapat pajak tahunan yang harus dibayarkan oleh
non-muslim, seperti ahli kitab guna perlindungan jiwa, properti, ibadah dan
harta ataupun budak yang tinggal di wilayah tersebut;
e) Khumus
Khumus disini dalam artian 1/5 ghanimah
dari harbi, rikaz dan luqathah. Adapun maksudnya yakni khumus itu diperoleh dari
tiga sebab diantaranya yakni karena sebagai ghanimah, penambangan dan harta
yang terpendam (rikaz) dan harta yang dipendam.
f) ‘Usyr
‘Usyr disini maksudnya yakni 1/10
daripada zakat pada tanaman atau buah-buahan ataupun juga bisa berarti sesuatu
yang diambil dari harta kafir dzimmi yang melintas untuk perniagaan.
c.
Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik
Abu
Ubaid melalui kitab al-Amwalnya membahas secara detail serta trasnparan terkait
pendistribusian dan pembelanjaan dari penerimaan keuangan pulbik.[1]Karim
(2006) menyebutkan pendapat Abu Ubaid mengenai kaidah mendasar dalam membatasi
orang yang berhak atas kekayaan publik. Beliau mengutip pendapat Umar yang
diriwayatkan dari Aslam, Umar berkata “Telah berkata Umar ra bahwa tidak
seorang muslim kecuali hak atas harta menerima atau menolak, setelah itu Umar
membacakan surah (al-Hasyr : 7-10) dan berkata Umar: ayat ini memuat semuanya
(manusia) dan tidak tersisa seorang muslim kecuali ia mendapat hak akan harta
itu (harta fa’i). Menurut riwayat Ibnu Syibah bahwa ketika Umar
membentuk dewan membagi para istri Rasulullah saw yang dinikahi 12.000 dirham,
bagian juwairiyah dan shafiyah 6.000 dirham (karena keduanya fa’i dari Allah
untuk Rasul-Nya) kaum muhajirin syahid Badar masing-masing 5.000 dirham dan
kaum anshar yang syahid 4.000 dirham”.
Selanjutnya perihal zakat, diambil dari mereka yang
kaya lalu dikembalikan kepada yang membutuhkan melalui delapan golongan yang
disebut dalam Al-Quran yakni delapan golongan asnaf. Lalu untuk pendistribusian
pengeluaran dari penerimaan berupa khumus ( khumus, ghanimah, barang tambang,
rikaz, dan lainnya) maka sesuai dengan ketentuan Rasulullah yakni dialokasikan
untuk kesejahteraan publik sepert kesejahteraan anak-anak, santunan yatim
piatu, korban bencana dan lain sebagainya.